Jumat, 26 Oktober 2012

Krematorium


Setelah menuntaskan tugas saya di toilet, saya bergegas mengejar rombongan yang sudah agak jauh di depan, sembari menggerutu karena acara yang berderet-deret dalam satu hari. Kapan saya bisa duduk tenang dalam bus selama beberapa jam? Saya memasuki sebuah bangunan bersama yang lain, tanpa tahu fungsi bangunan itu. Yang saya lihat adalah ruangan gelap lagi dingin dengan empat buah mesin yang bersambung dengan kereta. Mesin itu memiliki jendela kecil dengan dua pintu. Lilin-lilin menyala diletakkan di atas kereta, atau gerobak. Saya berhenti. Rasa-rasanya saya pernah melihat sesuatu seperti ini....

"Lilly," kata saya pada seorang teman yang pernah setahun di Amerika sebagai pelajar pertukaran, "Tempat apa ini?"

"Krematorium."

Tentu saja! Gambar seperti ini pernah saya lihat di Encarta bertahun-tahun yang lalu. Kereta itu tentu saja untuk meletakkan tubuh yang nyawanya telah pergi, sebagai ganti lilin, kemudian mendorongnya masuk ke dalam jendela berpintu-pintu tadi. Saya ngeri sekaligus tertarik.

Selalu melayang ke pikiran saya bahwa tubuh-tubuh yang dimasukkan belum tentu semuanya sudah ditinggal nyawa. Ternyata tidak, syukurlah.

Krematorium itu dibangun supaya orang tidak usah repot mengubur. Sebagian abu dibuang ke sungai untuk menyamarkan jumlah orang yang tiada.

Ada pula ruangan dengan dua meja operasi dari logam bercat putih dan kotak obat. Digunakan untuk mengidentifikasi tubuh, walaupun jarang sekali. "Horrible," kata Charlotte, teman yang lain.



Selepas itu beberapa orang mempersembahkan lagu untuk yang telah tiada, di balik patung Menorah kami mendengarkan gesekan biola bercampur dengan suara dalam dan sedih mereka.

xo gege arasy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar