Selasa, 09 Desember 2014

Jawaban Saya Sudah Bener Belum, Bu?

"Apa yang akan terjadi kalau dia gak tahu di mana Indonesia itu?"

Saya berulang kali melempar tangan ke udara. Menganggapnya remedial tetapi serius. Bukan seperti fisika yang makin diremidi malah makin merosot. Saya mengejar kepuasan mendengar kata 'benar' dari si penanya. Setiap putaran saya pikirkan benar-benar. Bagaikan berjudi, I just had to hit the jackpot. Kalau belum bener, ya, coba lagi, coba lagi sampai bener.

Pertanyaannya sederhana. Ada seorang guru berkewarganegaraan asing di tempatmu yang tidak tahu Indonesia itu di mana. Dia berpikir Indonesia pastilah di suatu tempat sebelah Bali.

Anda bisa mengoreksinya.

Atau Anda bisa memilih diam saja, memelintir ujung-ujung rambutmu yang keriwil dan memelototi langit-langit.

Mana saja, apa yang akan terjadi kalau dia tidak tahu di mana Indonesia itu?

"Kita tidak mengejar kebenaran," si penanya mengingatkan, barangkali mendeteksi kegemasan pada kernyitan dahi saya. Inilah filsuf yang sejati, yang lebih memihak proses ketimbang produk. Gambaran mengenai makna filsafat yang saya dapatkan di kelas Filsafat Ilmu terlalu sederhana, karena isinya hanya tentang mengejar kebenaran saking cintanya.

Meskipun sudah diingatkan, saya tetap memburu dengan bernafsu. Jangan mengambinghitamkan sistem pendidikan di Indonesia dulu. Anda pun akan kesal kalau diberi ending menggantung, kan? Hayo. Ambil contoh satu film. You didn't get to see the pair together, even though they were perfect in the film. Rasanya ingin mengirimi surat si penulis naskah. Kalau bisa guncang-guncang bahunya sampai dia jawab, mengapa Anda tidak melihat si cowok menikahi si cewek sampai rambutnya memutih dan bercucu dua belas orang.

Duduk dua belas jam di dalam kereta membuat orang gelisah, meskipun ada banyak pemandangan yang bisa dilihat.

Ini juga yang membuat saya tidak bisa menikmati film Tekkon Kinkreet. Seandainya Anda orang yang hobi mengintip halaman terakhir bahkan sebelum membaca judul bab pertama, Tekkon Kinkreet tidak akan jadi buku yang menyediakan kepuasan untuk itu.

And if you answer something correctly (or guess), you get a reward. Entah itu bintang emas di papan kelas atau ciuman dari jauh. Ihi.

"Akan jadi seperti apa kacamata pandangmu setelah kamu pulang dari acara ini? Berbedakah dengan kacamatamu sebelumnya?"

"Bagaimana kamu akan menggambar perasaanmu di atas kertas ini?"

Semuanya tidak mempunyai jawaban yang benar dan si penanya tidak mau mengatakan jawaban saya benar, bahkan yang mendekati seperti 'tepat' pun tidak. Memuji pun tidak. Tidak ada kesan bagi orang lain bahwa jawaban mereka salah. Semuanya pertanyaan untuk mengenali diri sendiri, yang kadang Anda takuti dan tidak bisa nilai dengan baik.

Belajar sih belajar. Nanti kalau direkrut jadi pendidik bangsa, saya akan melesat mendekati anak yang bolak-balik bertanya, "Jawaban saya sudah bener belum, Bu?" dan membisikkan mantra nan sakti, "Kita tidak mengejar kebenaran. Ingat!" Nanti jika sudah besar, dia akan tahu nilai sesuatu dan bukan cuma harganya.

Tetapi masalahnya sampai hari ini saya tidak punya jawaban.

Mungkin Anda punya? Jangan kesal kalau saya lantas menghadiahi Anda dengan kernyitan gemas di dahi, lalu lari ke penjawab lain untuk mendapatkan ketidakpuasan yang sama...

Bawang Bombai

Manusia itu sebutir bawang bombai. Sebelum ada yang marah-marah karena otak, jantung, dan paru-parunya diibaratkan segampang bola umbi kehijauan, saya mau mengoceh. Sebutir bawang bombai sebenarnya cuma, ya, tengahnya (yang bentuknya gimana masih misteri untuk saya karena terlanjur dipotong-potong) disembunyikan berlapis-lapis, berselubung-selubung tetek-bengek, kadang-kadang membuat mata perih atau sekadar menguarkan bau khas yang membuat perut berkeruyukan. Kecuali Anda alergi bawang bombai, bagian terluar bawang bombai adalah pembelaan atas diri sendiri, atas bagian paling tengah yang terlalu rapuh atau, entahlah, malu-malu dan lebih memilih langsung berakhir dalam sup, tanpa Anda perlu tahu apa sebenarnya yang sedang Anda makan.

Kalau sampai dia tahu, saya akan mengelupas wajah saya!

Mau ditaruh mana wajah saya?

Taruh di punggung?

Persis bagian terluar bawang bombai, pembelaan rasanya manis samar-samar. Membuat saya menolak mengajukan pertanyaan wajib, "Saya? Egois?" dan bahkan sudah sedia jawabannya sebelumnya, "Ah, egois itu sekali-sekali perlu kok buat kesehatan jiwa."

Administrasi jiwa, ya ampun, ternyata repot sekali. Tidak usah dipilah-pilah dan mari anut YOLO.

Kamis, 02 Oktober 2014

Hadiah Ulang Tahun

Menulis status panjang-panjang di Facebook adalah bentuk kemalasan saya me-logout akun Google yang biasanya ter-signed in sebagai kakak saya dan menunggu loading setting Blogger yang lama. Tapi menulis ini, saya tidak mau membuat teman-teman saya, yang notabene bertebaran di Facebook, merasa sedih. Saya hanya ingin menulis.

Di sini, sedikit untuk kamu.

Profil-profil followers Twitter membanjiri layar saya. Saya berhenti di deretan profilmu. Ada kata-kata FOLLOWS YOU tertera di situ. Kamu tidak akan pernah membaca timeline saya lagi, tapi kamu tidak punya kemampuan untuk unfollow saya, adalah hal pertama yang terpikirkan oleh saya.

Kemarin di kelas B2-Niveau kami membicarakan perayaan-perayaan di Indonesia, termasuk ulang tahun. Pertanyaan sang dosen, "Hadiah terburuk apa yang pernah kamu terima di ulang tahunmu?"

Sehari sebelum ulang tahun saya, kamu dipanggil Tuhan.

Saya bukan orang yang gampang mengumpulkan air mata di pelupuk lantas menangis. I'm not paying tribute with tears. Teman-teman kamu, yang juga teman-teman saya, bilang mereka sudah menangis tadi pagi. Saya tidak. Saya hanya tidak percaya. Sampai hari ini pun, masih aneh rasanya memikirkan kamu sudah naik ke surga. Buat saya, kamu harusnya selalu di bumi, baik-baik saja walaupun kabarmu tidak ditanyakan. Seharusnya tidak perlu ditanyakan, karena kamu akan selalu sehat-sehat saja seperti teman-teman yang lain.

Tapi sekuat apapun waktu itu saya berdoa, paginya, alih-alih ucapan selamat,

...

Yah, Tuhan memang sayang kamu. Facebook kamu kebanjiran kata-kata duka. Tuhan membaca semuanya, Dan, Tuhan membaca post-post itu satu demi satu, kalimat demi kalimat, kata demi kata.

Ya ampun, apa ini air di pipi saya?

Tidak adil ya, teman-teman kita mendapat kesempatan bertemu kamu kedua bahkan ketiga kalinya, saya tidak. Waktu kita semua berpisah, kamu bilang,

"Gila, aku nangis, wak."

Wak itu panggilan sayang untuk teman. Kamu memberikan saya hadiah yang masih saya ingat sampai sekarang, dan hadiah itu berupa keyakinan dari kamu, bahwa apa yang kita miliki, pertemanan kita, persahabatan kita, berharga.

Tuhan sayang kamu, Dan, Tuhan sayang kamu. Doakan teman-temanmu yang masih berjuang di bumi ini. Einblick, fuer immer!

Kamis, 11 September 2014

Fake

Tanggal 5 kemarin, ada inaugurasi di kampus untuk fakultas saya. Saya jadi konseptor pertunjukan bagian jurusan saya, sekaligus ngarang naskah. Ada punchline yang sangat saya tonjolkan dengan pengulangan, dan bisa dikatakan saya membangun naskah di atas punchline itu.

"Merdekalah dia yang bisa bersastra."

Berkisah tentang putri yang terkurung sangkar emas alias dipingit, namun memerdekakan hatinya dengan puisi dan nyanyian solo, dan pangeran yang fisiknya terbebas dari pingitan namun mulutnya terkatup tak bisa mengungkap diri.

Yaiks. Tentu saja, walaupun anak sastra, dan ingin menonjolkan rasa sastra, saya tergeli-geli sendiri dengan punchline itu.

Soalnya sastra memang bukan substansi kemerdekaan.

Mau berapa kalipun saya ngetweet kalimat-kalimat galau nan indah dalam sehari, besoknya saya akan mengulanginya lagi. Ngetweet kalimat-kalimat galau nan indah. Begitu terus, sampai saya berhasil menerapkan quote favorit saya,

"Di mana ada cinta, di situ tidak ada permintaan, pengharapan, dan ketergantungan. Saya tidak meminta orang membuat saya bahagia, kebahagiaan saya ada dalam diri saya. Jika seseorang meninggalkan saya, saya tidak akan menyesali diri. Saya sangat senang berada dekat orang itu, tapi saya tidak terikat dengannya." - Anthony de Mello.

Saya berusaha mengingat-ingat, ini adalah low point saya. Iya, kalau saya melihat tanjakan dan menangis, berikutnya saya pasti akan tertawa kegirangan lantaran disambut turunan. Sehabis low point bakal selalu ada high point.

Badai pasti berlalu.

Tapi memang selalu lebih susah ikhlas "selama" dan "pasca" ketimbang ikhlas pra-kejadian. Uang yang sudah ditargetkan akan hilang (ditargetkan, ya ampun) pasti tidak akan dicari. Di low point saya, di depan tanjakan, saya susah mencari makna. Segalanya terdengar sumbang dan berantakan. Sumpek.

Anyway, saya sekarang sudah di lingkaran merdeka itu. Meskipun saya melewati treknya dengan mata terpejam, saya kembali bisa bernapas. Setidaknya untuk detik ini, dan saya mau bilang,

Senyum kalian membuat saya tersenyum kecil sendiri, saya bisa bernapas lega, saya merindukan kehadiran di sebelah saya, saya merindukan kekosongan di sebelah saya, saya merindukan kehidupan, saya ingin membaiki diri bukan karena kamu.

Merdeka!

Senin, 11 Agustus 2014

Herzlich Wilkommen

Sebetulnya waktu admin SasjerUM ngetweet "herzlich wilkommen!" untuk adik-adik maba, itu ngingetin saya sama seruan "Wilkommen!" dari elite Der Fuhrer lawas kepada murid-murid baru, di film Napola. Medeni. -_-


Rabu, 28 Mei 2014

Lumban

"Kamu saya kasih hadiah 50 juta kalau bisa tebak kepanjangan T dari nama Papa T. Bob."

Pernah dengar lelucon itu? Hahaha itu salah satu yang lucu yang pernah saya dengar. Hadiah 50 juta itu nggak ada yang pernah nerima karena cuma ada 3 orang yang tahu jawabannya: Papa T. Bob sendiri, istrinya, dan Tuhan. Tapi lelucon itu terus berlanjut di kelas saya sampai timbul pertanyaan... TIMBUL PERTANYAAN.

"Kamu saya kasih hadiah 50 juta, tapi apa kepanjangan L dari nama Jeff L. Gaol?"



Jeff adalah seorang teman di sekolah, pinter ngedit film dan sembarangnya. Tapi huruf L. itu selalu menjadi misteri seperti di mana sebetulnya Nyi Roro Kidul tinggal.

Lalu saya bertemu seorang cewek dalam sebuah workshop. Namanya Vermona L. Gaol.

Vermona.

L.

Gaol.

Apa itu L? Di media sosial dia memajang nama lengkapnya, Vermona Lumban Gaol.

Maka ketika pertanyaan dan tawaran hadiah 50 juta itu datang lagi, saya jawab dengan yakin,

"Lumban!"

Tidak ada yang percaya. Mereka pikir saya mengada-ada -_-

Saya pikir, saya harus ketemu Jeff untuk membuktikan saya benar! Tapi kesempatan itu tidak kunjung datang. Sampai suatu hari kami, saya dan teman-teman, sedang duduk-duduk dan Jeff lewat depan kursi saya. Saya sambar lengan baju Jeff dan saya keluarkan kartu As itu.

"Jeff, apa kepanjangan L dari namamu?"

"LUMBAN."

Lumban. Lumban. Lumban.

Saya langsung terpingkal-pingkal penuh kemenangan ditatap teman-teman yang melongo.

Tuh kan. Saya kok dilawan.

Kamis, 22 Mei 2014

50's

Saya berhasil meniru Audrey Hepburn :) :) :)
Rambut yang identik dengan the 50's adalah blondie, tapi rambut Hepburn ini... Bagaimana mendeskripsikannya?
Yang bikin paling mirip dengan foto aslinya adalah alisnya :) dia punya alis signifikan. Ternyata itu yang bikin beda dengan bintang-bintang lainnya.
Pipi dimerahkan, cat eyes, lipstik merah, semuanya dari era 50-an.
Sebenarnya LBD dari Givenchy yang dipakai Hepburn di Breakfast at Tiffany's lebih panjang, dan saya tidak nemu pipa panjang yang legendaris itu ._.


Fifties looks lain. Yang pakai baju biru punya tahi lalat di bawah mata kirinya. Tahi lalat! Tentu saja! Bukan 50's namanya kalau tidak tergila-gila dengan beauty marks.



Playlist: Klasik

1. Where the Bee Sucks, Elizabeth Schwarzkopf
http://www.youtube.com/watch?v=aBtwGO97lNg&safe=active

Dari semua versi, Elizabeth Schwarzkopf memang paling jos dan saya nggak nemu tandingannya. Aria ini berbau ceria dan jadi lagu pas untuk mengembalikan mood baik :') kalau denger lagu ini saya membayangkan Thumbelina, peri bunga sebesar jempol.

2. Adele's Laughing Song
http://www.youtube.com/watch?v=P2lkXzmcMHg&safe=active

Lagu ini berulang dinyanyikan orang, tapi tetap versi aslinya yang paling penuh tekhnik. Lebih lagi, dia menjiwai betul sehingga terdengar sungguhan kayak orang ketawa yang menyanyi. Kenapa Adele ketawa? Kalau dilihat dari liriknya, Adele adalah cewek berdarah biru yang menyamar jadi pembantu dan majikannya meremehkannya. Tentu saja Adele ketawa, karena tahu siapa dia sebenarnya.

3. Das Tafellied, Brahms
http://www.youtube.com/watch?v=nypGo3d9tU8&safe=active

Lagu ini juga lucu banget. Dengar pembukaannya saja sudah bisa bikin ketawa. Ceritanya tentang para pria yang merayu para wanita di sebuah perjamuan, dan kata para wanita itu dalam hati, "Memangnya kalian pikir kami tidak tahu kalian merayu wanita-wanita lain juga?" Lucunya para wanita itu tetap berpura-pura sopan dan membalas salam mereka, sampai akhirnya mereka disatukan dansa di bangsal besar.

4. Der Tanz, Schubert
http://www.youtube.com/watch?v=zj8zQ2gEN2o&safe=active

Uah, kekayaan yang berlebihan memang bikin merinding. Tapi siapa yang bisa menolak berdansa di ruang dansa megah di bawah kandelir bertahtakan seribu lilin?

5. Flower Duet
http://www.youtube.com/watch?v=Vf42IP__ipw&safe=active

Lagu ini aromanya lebih sedih, tapi Reff-nya enak sekali.

6. Bonjour, et puis, quelles nouvelles?
http://www.youtube.com/watch?v=lRAhUbLKgo0&list=PL8E63652FB0D403FA&safe=active

Kalau dinyanyikan paduan suara jadi lebih ceria. Versi yang ini lebih bening, tapi.

7. April is in my Mistress' Face
http://www.youtube.com/watch?v=EPDltGCotyk&safe=active

Terpesona dengan sahut-sahutan keempat suara, Sopran, Alto, Tenor, Bas. Ini lagu yang indah banget dan keempat pecahan suara semuanya sama-sama enak, tidak ada yang sekadar jadi pelengkap. Mirjam Strmole soprano yang bagus. Yang mengejutkan Alto-nya kuat, sampai di awal saya kira itu suara lelaki. Bas-nya juga terlatih dengan baik, kuat juga. Tenor-nya nggak begitu kuat .-.

8. Queen of the Night, Natalie Dessay
http://www.youtube.com/watch?v=9qqDKUKvoIs&safe=active

Saya penasaran kenapa Natalie Dessay awalnya tidak mau memerankan tokoh antagonis ini. Lagunya, seperti kebanyakan dari Mozart, aria yang bagus. Ada dua bagian yang sangat saya suka dari aria ini, saya kira yang dengar akan langsung menemukannya.

9. Lueur d'été
http://www.youtube.com/watch?v=xHiMm08y9CY&safe=active

Buat yang sudah nonton Les Choristes, kalau tidak salah ini bagian di mana mereka sempat bahagia sebentar di film itu, sebelum runyam lagi.

Sabtu, 17 Mei 2014

If I Needed You


If I needed you would you come to me,
Would you come to me, and ease my pain?
If you needed me
I would come to you
I'd swim the seas for to ease your pain

Ini ekspresi yang paling saya suka di film ini.

The Broken Circle Breakdown berkisah tentang sepasang bapak ibu muda yang gadis kecilnya terkena kanker. Pada mulanya mereka menghadapinya bersama, tetapi keadaan bertambah rumit setelah anak mereka meninggal. Si bapak yang tidak percaya Tuhan tidak punya tempat untuk membayangkan ke mana putri kecilnya pergi, dan tidak punya siapa-siapa untuk disalahkan. Si ibu, yang percaya, kehilangan kedekatan dengan si bapak yang polahnya, karena sedih, membuat orang menjauh. Alur ceritanya kadang maju, kadang mundur, namun digambarkan dengan epik. Semua potongan gambar sangat indah dan banyak bercerita.

Si bapak, laki-laki tinggi besar dan berewokan itu, ketika dikabarkan anaknya tiada, dia memasuki pintu kamar rumah sakit. Langkahnya terhenti, ekspresinya bertanya-tanya, "Kenapa?" Rahangnya bergetar. Sekali lagi, kenapa? Kenapa?

Setelah itu mereka sering bertengkar. Di suatu kesempatan mereka menyanyi di atas panggung, dan si bapak mencoba mengulurkan tangan. Kita sama-sama sakit di sini. Tetapi tidak disambut. Sehingga tangan itu kosong.

If I needed you, would you come to me? Would you come for to ease my pain?

Jumat, 16 Mei 2014

Attitude

G menyodok saya, "Coba kamu liat anak model sama anak padsu. Bueda."

Saya menoleh cepat, langsung tertarik dengan subjek kepribadian ini. Memang paling menyenangkan mengamati orang dengan warna-warnanya. Kadang kagum, kadang cemburu, kadang ngetawain aja. Tapi sisanya, menarik saja buat dilakukan. Disimpan di otak. Saya tidak tahu apakah harus menghindari stereotip, apalagi di negeri penuh kemajemukan ini. Lha wong individu saja kompleksnya sudah bukan main. Tapi memberi garis batas yang jelas pada warna-warna pelangi, berdiam di satu warna, lalu menyelam ke warna yang lain adalah rekreasi mewah. Dunia baru.

Kamu tidak harus menyukainya, cukup menaruh respek.

Kembali ke tribun tempat duduk anak-anak paduan suara di satu sisi, dan para model di sisi lainnya. Usia mereka kurang lebih sama, lingkungan sekolah mereka juga sama. Tetapi yang mencolok adalah, anak-anak model duduk dengan rasa percaya diri terpancar jelas. Entah aura dari mana. Bahasa tubuh mereka santai dengan tangan di lengan kursi, kaki bersilang, dan senyum. Kepercayaan diri mereka diletakkan di atas sepatu tumit tinggi, celana skinny. Belum apa-apa mereka sudah menang. Vini, vidi, vici. Dan penonton mendukung itu: mereka masih di backstage saja yang nonton sudah deg-degan. Mereka komunal, tetapi kelihatan individualistis. Mereka berteman di belakang panggung, tetapi mengutamakan profesionalisme di atasnya.

Anak paduan suara lebih merenung, lebih berpikir. Posisi mereka seperti patung Si Pemikir karya Rodin, kaki membuka untuk tempat bertumpu lengan dan tangan menangkup di bawah dagu. Mereka lebih tegang, berusaha mengantisipasi keadaan, tetapi mereka menyimpan kemenangan untuk belakangan, setelah mereka membuka suara. Mereka perlu membuka suara dulu untuk membuktikan. Dengan sentuhan rasa kerja keras dan gandengan tangan yang diperlukan. We did it, bukan I did it.

Sukses untuk kedua kelompok. Betapapun berbedanya kalian, dua-duanya menyiram saya dengan warna baru.

Rabu, 23 April 2014

Dinda, Ibu Hamil, dan Path

Dinda, ibu hamil, dan Path. Ceritanya, Dinda komplain (saya lebih memilih kata ini daripada 'mencaci-maki') terhadap ibu hamil yang meminta dia untuk memberikan tempat duduknya di kendaraan umum. Dan lancarlah pengadilan maya berjalan. Setiap kali membacanya, saya sesak. Sedih. Tahu cerita Putu Wijaya, 'Peradilan Rakyat'? Keabu-abuan yang menyamarkan hitam-putih ditawarkan cerita pengacara yang dengan kelihaiannya membebaskan koruptor pemakan negara, untuk memperingatkan bangsa agar tidak lalai. Supaya tidak main-main dengan kejahatan. Bahkan bukan demi uang. Tentu saja pengacara itu mati, dibunuh amukan rakyat. Sedemikian mudahnya kita berbuat, mudah lupa, jika dalam kawanan. Kita begitu gampang, kan, tertawa keras-keras seperti tidak punya tetangga kalau sedang bercanda dengan teman-teman kita. Apa kata Mark Twain yang selalu saya ulang-ulang kepada diri sendiri? 'Jika Anda mendapati diri Anda berada dalam mayoritas, itulah saatnya Anda berhenti dan merenung'. Saya pikir di sinilah gunanya partai oposisi, untuk menjaga agar kita tetap waras. Tetapi tidak semua emosi kolektif melahirkan nasib seperti si pengacara. Koin Cinta untuk Prita juga produk dari gerakan massal.

Tidak terhindarkan, saya tidak bisa dengan tenang nonton bioskop duniawi ini. Sebagai bagian dari meja hijau relatif ini, kecenderungan saya adalah untuk membela tokoh ibu hamil. Kali ini saya mengkhianati sendiri kecenderungan yang sudah ber-SOP itu. Saya melihat sesuatu yang lain. Saya sesak untuk Dinda. Saya tidak menganggap pembelaannya elegan, tetapi tetap tidak bilang dia tidak punya empati. Mungkin kita para komentator lah yang tidak punya empati. Di antara sekian banyak pengadilan maya, masak sih tidak ada pengacara untuk Dinda? Ternyata ada. Satu di antara sepuluh laman yang keluar. Dan penulisnya bukan sebaya Dinda yang 'minta dipahami', tapi seorang ibu yang sudah punya beberapa anak.

Situasi ini tidak sama persis dengan yang dialami Dinda, tapi Anda bisa coba membayangkannya. Anda berangkat lebih pagi dari biasanya untuk mendapatkan tempat duduk, naik ojek sekali dan angkot dua kali ke stasiun, lalu di kereta seorang ibu hamil menepuk bahu Anda, menanyakan tempat duduk yang Anda dapatkan.

Apa yang akan Anda lakukan?

Di samping simpati, kalau memang ada, sebagai orang yang tidak mampu menolak, Anda mungkin tidak punya pilihan lain selain memberikan tempat duduk Anda. Kalau Anda menawarkannya sendiri, lain lagi ceritanya. Sesederhana pertanyaan, "Boleh minta kuemu?" waktu Anda sedang lapar. Pembela Dinda, ibu beranak empat tadi, malah dinilai tidak cukup mumpuni untuk menawarkan sudut pandang lain oleh seorang komentator, "kalau dilihat dari PP-nya yang kurang beradab (masak gambar kaki dijadikan PP)."

Ini pun hanya sudut pandang lain, dari orang yang overdosis pembicaraan hot dan sakaw udara. Kiranya berkenan.

Jumat, 03 Januari 2014

Kim Tan < Young Do

The Heirs. Kenapa aku nggak suka. Sebetulnya konsepnya bagus sih, anak-anak richie rich dan kehidupan mereka. Aku terutama suka pembagian kastanya, atau hierarki di sekolah mereka: anak-anak pewaris perusahaan, pemilik saham, anak-anak orang dengan jabatan terpandang, dan kelas peduli sosial. Hal-hal seperti itu kedengaran sangat keren, walau mungkin di dunia nyata bikin nggak enak. Tapi.

Kim Tan. Aku kecewa karena yang pertama kali dishoot adalah Kim Tan, yang artinya dia akan jadi tokoh utama. Dia kalah ganteng dibandingkan Young Do, dan kalah baik.

Ketika pertama kali berurusan dengan Eun Sang di rumah sakit, Kim Tan malah marah perihal temannya yang kesedak tepung kacang gara-gara ulahnya sendiri. Permulaan yang kurang keren untuk seorang tokoh utama cowok. Dan kebaikan yang dia lakukan setelahnya malah jadi terkesan dipaksakan oleh skenario. Memang sih Young Do bengal, tapi entah kenapa kebengalannya malah bikin dia tidak terlihat munafik. Oh, dan kisah cintanya terkesan dipaksakan.

Aku lebih suka cara Young Do mencintai Eun Sang.

Kalau dibandingkan dengan My Princess, yang juga sempat mengisahkan cinta segitiga, dua tokoh cowok yang ada masih lebih masuk akal. Park Hae-young yang menyebalkan tapi sebenarnya membela Lee Seol. Kalau ingin berpaling pada Nam Jung Woo juga tidak rugi. Profesor yang baik hati dan selalu menghibur dengan senyuman, walaupun rencana-rencananya masih kalah dipikirkan matang-matang dengan rencana-rencana Hae-young.

Oke. Tidak menghentikanku menonton The Heirs.... untuk lihat Young Do.

Kamis, 02 Januari 2014

Aku suka selai bluberi untuk sarapan: Pribadi

Selama ini saya takut menuliskan hal-hal pribadi dalam tulisan saya. Saya takut apa yang saya tulis bisa digunakan sebagai senjata untuk balik melawan saya. Misalnya saya menulis, saya punya topi kesayangan berwarna cokelat yang bentuknya seperti punya koboi di film-film. Bisa saja ada orang membacanya lalu menggunakannya untuk mengancam, "Saya tahu kamu punya topi kesayangan berwarna cokelat dengan bentuk seperti punya para koboi di film. Serahkan lolipopmu," dan saya terpaksa menyerahkan lolipop saya.

Padahal sesuatu yang bersifat pribadi, kalau ditulis, akan membuat kita merasa dekat, seperti: Aku suka selai bluberi untuk sarapan.

Misalnya kita tahu Harry gemar makan tar karamel.
Atau Julian dari Lima Sekawan punya kebiasaan mencuci tangan hingga tangannya selalu harum.
Chae-kyeong, seorang putri Korea yang tidak lepas dari ngiler setiap malamnya.
Ruben yang dibikinkan kopi supaya bisa tidur.

Ternyata mereka yang masuk novel dan film itu orang-orang yang kesehariannya sama dengan kita. Hal-hal itu sangat manusiawi, jadi sulit dipercayai kalau ada orang-orang yang malah akan menggunakan fakta pribadi yang mereka temukan untuk tujuan-tujuan yang tidak manusiawi.