Selasa, 11 Desember 2012

KLAUSUR

Saya gelagapan ketika soal mendadak dibagikan. Setiap hari Selasa saya bolos pelajaran bahasa Inggris untuk mengikuti kelas bahasa Jerman, jadi jelas ini salah satu kerugiannya: saya tidak dapat infonya. Tema: Amerika. Untunglah saya cuma disuruh mengerjakan esainya \:D/ .... itu pun sulit kalau pembuluh otak sudah menyempit (eh). Baca soal: tulis esai dengan mengembangkan salah satu dari lima topik di bawah.

Topik pertama, na na na na na, na na na na na, na na na na na (lupa).

Topik kedua, lupa.

Topik ketiga, lupa. Isinya lupa terus. Makin membuktikan teori penyempitan pembuluh otak.

Topik keempat, pidato Martin Luther soal "ebony and ivory sitting together on the table of brotherhood". Good. Hm.

Topik kelima, KAMU ADALAH TIME TRAVELER DAN BISA MEMILIH KEJADIAN APA SAJA DI AMERIKA DI MASA LALU UNTUK DIALAMI. APA, KAPAN, DAN MENGAPA?

Esai dari pengembangan topik kelima:

bahasa Inggris yah, selain kedengaran keren, males nerjemahkan.

The man beside me waved his hind right in front of my nose and I blinked. "Hello, what would you like to choose? It is already fifteen minutes and there are a lot of people in the waiting room." I was at the end of my thinking capacity. I would like to experience something that would boil my blood and make me shout the freedom out of my heart....

"USA, please. Time of slavery."

He seemed a little bit surprised to my choice, but instead of asking questions I would really like to answer, he pushed the big green button on his working-desk and suddenly I was brought into a tunnel of spirals. I felt like being the fastest runner in the world. I could see Marilyn Monroe in her glorious time, smoke flying high from the bombed Nagasaki, and even Joseph leading Maria and the donkey, all traveled with me. Then I got through a dark hole.

I landed on a place I didn't expect at all: a bus stop. There were two men, talking and smoking and sometimes laughed. I recognized their accent as American. I tried to catch a word from their conversation, but the bus already approached us, making a noise. We went on and at the moment I realized the people couldn't see me. OK, I took the cheap program. More money needed in order to be involved in the game.

All of a sudden the people on the bus started mouth-fighting. I slipped between a fat man and a woman with a housewife-look and the problem got onto my mind: there was only one seat left and beside the seat was a black woman.

"Gimme your seat, you filthy coloured...." O o. Aku tau itu sangat kasar.

The black woman stayed still.

A horrible feeling crept all over my body. "She's dead, she's dead," I whispered, scared, trembling.

The man with the brown cowboy hat, who demanded for the seat, started touching the woman's shoulders, trying to make her stand and move. The people surrounding were supposed to help the woman, but they were on the man's side. They thought he was right.

"No."

The man raised his hand high and was about to beat when we heard the characterized siren. Someone had called the police. They tied her hand tight and managed to make her sit in their car. Jailed. But that wasn't the last breath, I knew.

Things went out as expected. I blurred. But my tears were the total opposite of the woman's stiff face behind the metal bars of the room's door, the last scene of my journey as a time travaler. I was back on the magical dentist chair, staring at that beautiful nose.

"Exit door right there. Next, please."

Para ahli bahasa Inggeris tolong betulkan ya! \:D/

Senin, 10 Desember 2012

10/12

Hari ini dengan perut setengah terisi saya menyimpan sereal yang belum termakan (pandangan sedih, maaf ya, nanti kamu kumakan lagi kala kita berjumpa lagi.... hari Kamis). Saya menyambar topi wol dari laci berlabel Muetze dan Mama bersabda: "Tunggu!

"Topi itu punya teman Kaethi, kita akan kembalikan kalau dia datang ke sini. Mana topimu yang biru?" Ah.

Mungkin nyelempit di kursi, mungkin menggantung di gantungan baju, mungkin menggunduk kesepian di lemari yang kosong dan dingin.

"Mmmm...."

"Du hast Nasenhaare! Du hast Nasenhaare...." Nasenhaare? Rambut hidung? Ja, klar, ya, tentu saja, saya punya rambut hidung, pikir saya bingung. Apakah dia tidak punya sehingga lalu bertanya? Tangan saya sudah hendak naik untuk meraba bawah lubang hidung untuk memeriksa apakah rambut hidung saya sudah tumbuh lebat sampai keluar batas sehingga Mama bisa melihatnya (dan mungkin menginstruksikan untuk memotongnya) waktu otak saya bekerja.

Ya! Saya kan baru keramas. Nasse Haare, rambut basah.

Saya jadi inget kata teman saya, "Kalo orang lain ngetawain bodonya orang lain, kalo kita ngetawain bodonya kita sendiri."

Iya ya. Waktu itu saya, Naga, Gajah, Buaya, dan Panda ngumpul dengan bergaya: minum teh panas di rumah si Naga. Dasar lidah saya tidak tahanan, saya membiarkan teh saya yang masih ngebul sesekali dicuri seruput si Gajah, dengan tidak berdosa, pula.

Kami membicarakan (selain bodonya kami sendiri) geng dance yang baru ditonton si Gajah, geng cowok kemayu dalam baju ketat leopard print yang moto hidupnya: Cucok. Begini.

"Cuuuu...."

"Cok."

"Cuuuu...." kata Gajah.

Karena yang lain, herannya, diam, saya menyambung dengan baik hati, "Cok."

Alhasil teh tersembur dari mulut kawan saya, Gajah, yang sedang melakukan ritual kumur teh. Alih-alih segera mengepel lantai tuan rumah, dia melanjutkan terbahak-bahak, wow, reaksi besar untuk kata sekecil cok.

Anda tahu saya sangat terinspirasi oleh Junior MasterChef, dan hidangan siang ini adalah fried spagghetti with cheese sauce. Itu aslinya spageti yang sudah menginap di kulkas, tapi di tangan yang tepat bisa jadi fine dining. Kalau tepat.

Saya benci sekali telur. Karena si telur tidak ada, justru di saat saya butuh. Saya tuangkan susu ke dalam panci dan masukkan beberapa lembar keju Edam yang saya temukan setelah mematung di depan konter dingin khusus keju (kawan-kawan, saya persis Ringo Hijiri bukan? Belanja tahu dan acar timun setengah jam). Entah kenapa dahi saya butuh berkerut untuk memutuskan saya makan nyemil apa hari ini--sekarang saya lebih bisa menghargai ibu saya, dulu saya pikir memutuskan antara rawon dan soto tidak berpengaruh dalam seberapa cepat saya akan menjawab pertanyaan guru di sekolah, yang nyatanya IYA, mempertimbangkan gizi--tapi kalau dilihat dari kantong, maklumlah. Setiap kali belanja lama dan takut dituduh atau ditegur saya selalu punya satu alasan: saya kan siswa. Cari cemilan kebutuhan hidup yang awalan harganya 0. Sen an. Lihat dulu papan nama produk untuk mencari tahu netto nya sesuai panduan majalah.

Brava! Matt Moran mengetuk meja dengan buku-buku jarinya.

(bunyi sumbat karet ditarik)

"Hiyaaaa, mengapa kejunya menggumpal?? Aku BENCI keju!"

Beritanya, sekarang saya benci keju dan telur.

Selasa, 20 November 2012

I WANT TO REMEMBER

Jokes from my lovely English teacher:

"i held an english intensive speaking course, and the one talking intensively was me"

"these mistakes are simple, but just annoying. It makes me need another part of chocolate.... which isn't good for me"

Selasa, 06 November 2012

AKU NEMU MASJID! Masjid Kotak di Belakang Tempat Sampah

Dulu, dulu sekali Mbak Primamilia pernah cerita, waktu di Jerman dia menyambangi sebuah masjid bersama saudara-saudara sesama muslim, sebuah masjid yang bikin air matanya merebak dan hati sesak, karena tempatnya di belakang Tempat Pembuangan Akhir. Pula masjid itu hanya sebuah ruangan kotak, kecil.

Mencari masjid di Eropa memang sebuah petualangan, susah-susah gampang. Gampang ditambahkan karena sekarang ada internet dengan Google Map di dalamnya. Saya menemukan tiga masjid di Dresden. Tiga! Kejutan. Berawal dari pertanyaan teman, "Kamu puasa hari ini?" Saya memang berniat puasa hari itu, tetapi bukan karena saya tahu esoknya adalah Hari Raya Kurban, dan tidak jadi karena tidak sahur--mematikan alarm dan tidur lagi. Namun saya jadi tahu. Dan saya ingin sholat hari raya, ingiin sekali.

Saya pelototi baik-baik peta, kalau ada satu-dua hal yang bisa saya ingat, itu bagus. Pertama saya pergi ke Sudvorstadt, tempat masjid satu-satunya yang dikenal host sister saya. Dia ingin menemani saya tapi harus sekolah mengemudi. Sambil menjinjing tas dan gelas yoghurt rasa vanila tanpa sendok yang membuat saya harus mendongak-dongak untuk meminumnya dan parno dilihati orang-orang, saya menengok kiri-kanan jalan setelah Stasiun Kota seperti diperintahkan host sister saya, mencari-cari masjid. Saya temukan bangunan cokelat dengan kubah berwarna biru terang cantik, megah dan begitu bangga berdiri di hadapan saya dan jalan raya. Tunggu, tak mungkin masjid berdiri seterang itu di sini. Ya, tepat, itu gereja--gereja dekat masjid. Aha, berarti saya sudah di daerah yang betul.

Saya melenggok dan mata saya melebar: itu jalannya! Jalan yang saya kenal dari peta. Saya kenal, saya kenal jalan-jalan ini. Tetapi di mana masjidnya? Tak tampak satu pun. Saya menggerutui masjid Eropa yang tak punya minaret alias menara, sambil di lain sisi menyadari azan tak boleh terdengar lebih dari beberapa meter di sini. Lelah berjalan otak saya lebih lesu, saya mengincar wanita-wanita berjilbab untuk ditanyai. Saya berhasil mengejar seorang ibu, ibu-ibu, tampaknya imigran Turki, berwajah kurang ramah, namun mungkin saya saja yang judgemental, dan bertanya di mana masjidnya. Tidak tahu. Tidak ada di sekitar sini. Waduh, itu jawaban yang sama dengan milik seorang ibu ramah di depan apartemen, yang saya tanyai setelah memberanikan diri. Dulu ada masjid di dekat sini, tapi sekarang tidak berfungsi lagi. Tapi dia tidak tahu lagi.

Baik, mari ke lain tempat. Kaki saya lelah berjalan, mata memburu ingin memejam, dingin memeluk kuat-kuat sampai rusuk patah dan hancur berkeping, tapi hati saya membara oleh api semangat. Apa yang bisa membuat saya lebih senang dari menemukan masjid hari itu? Gol saya. Masjid kedua ada di dekat sekolah saya, St Benno-Gymnasium. Saya sudah membayangkan, saya akan berangkat sholat Zuhur waktu istirahat siang dengan berjalan kaki saja.... Kata ibu saya, tidak ada tempat sholat di sekolah dan memang benar dan saya harus menjamak-menjamak-menjamak.

Saya berbelok. Klang! Mata saya terpaku pada papan penunjuk jalan. Marschnerstrasse. Yak, itu jalannya! Alhamdulillah saya dimudahkan. Saya mondar-mandir, nomor masjid itu adalah 2, tetapi kenapa saya hanya dipusingkan oleh nomor-nomor 25, 32, 28? Saya melewati sebuah bangunan dengan jendela besar dan atap berlengkung-lengkung seperti pintu-pintu masjid dan mendadak saya melihat huruf-huruf arab dari jendela itu. Ya Tuhan, saya sudah nemu masjidnya, bisik saya dalam hati, meneriakkan kemenangan. Namun pintu terkunci. Otak saya berputar lagi, ya ampun, apa yang saya kira huruf arab itu ternyata guratan-guratan di pipa kayu raksasa, itu adalah bangunan pengolah energi atau semacamnya. Keringat dingin (habis di sini dingin) menitik di atas bibir. Saya sudah capek, tapi saya ingiin, ingin besok sholat hari raya di masjid....

Dalam perjalanan pulang saya menyadari Marschnerstrasse sangat panjang. Ya ampun, di saat waktu sudah tidak nutut begini malah nemu....

Dan hari ini, saya pergi ke Frauenkirche untuk mengambil beberapa foto. Tapi dingin menyengat, angin menerjang waktu saya berjalan ke arahnya. Saya tidak kuat dan kembali ke sekolah. Eh, tiba-tiba kepikiran nyari masjid lagi. Betul! Sekaranglah waktunya. Udara mendadak berdesir menghangat waktu saya menyusuri Marschnerstrasse, saya bersyukur Tuhan masih sayang sama saya. Namun lagi-lagi saya tidak nemu. Nomor itu-ituu saja. Ya Tuhan, tolonglah saya.... Saya berucap dalam hati. Nasruminallah, nasruminallah....

Kayaknya itu sudah jalan lain deh. Tapi belum ada plang jalan lain. Saya berjalan terus dan tiba-tiba ia sudah ada di depan mata saya. Pertolongan Tuhan sudah datang. Ialah Marwa Elsherbiny, masjid yang saya cari, dengan nama Deutsch-nya di bawahnya.







Buka setiap hari, lima waktu sholat, dengan acara mengaji di sela-sela.




Inikah masjid yang diceritakan Mbak Primamilia? Begitu persis dengan deskripsinya. Kalau bukan, masa sih semua masjid di sini kotak dan di belakang tempat sampah?



Alih-alih sedih karena masjidnya di belakang tempat sampah, saya malah bahagia karena sudah menemukannya. Saya dorong gerbangnya, ternyata membuka. Saya akan ke sana kalau sudah boleh masuk.




xo gege arasy

Kamis, 01 November 2012

Ain't No Mountain High Enough


Ini adalah salah satu scene terfavorit saya sepanjang masa: Ain't No Mountain High Enough dari Remember the Titans. 

Remember the Titans menceritakan perjuangan mengatasi perbedaan dalam satu klub american football. Pada masa itu perbedaan warna kulit masih dikentarakan, mereka sering dimarahi pelatih gara-gara tidak bisa bersama-sama. Selain lagunya enak, di scene ini para pemain bernyanyi bareng dan mereka terlihat sangat akrab dan menikmati hal itu.


Listen, baby, ain't no mountain highAin't no valley low, ain't no river wide enough, babyIf you need me, call me, no matter where you areNo matter how far, don't worry, babyJust call my name, I'll be there in a hurryYou don't have to worry

'Cause baby....


Setelah disela oleh kekisruhan yang timbul karena Sunshine mencium Gerry, keasyikan itu lanjut lagi.


'Cause baby, there ain't no mountain high enoughAin't no valley low enough, ain't no river wide enoughTo keep me from getting to you, baby


Ain't no mountain high enough--oooo yeah. xo gege arasy

Yuhuu~


(Kim Joo Won dan Gil Ra Im mengendap-endap keluar dari kamar setelah berpikir mereka berhasil menidurkan anak-anak)
Kim 1: (bangun) "Ibuuu."
(Kim Joo Won dan Gil Ra Im menoleh, ternyata pikiran mereka salah)
Kim 1: "Kami belum mau tidur." (mengguncang-guncang Kim 2 yang tidur di sebelahnya) "Bangun."
Kim Joo Won: "HYA, kenapa kau membangunkan orang yang sudah tidur? Apa kau mau tulang rusukmu yang kelima jadi keenam?"
Kim 1: "Aku mau tidur dengan Ibu malam ini"
Kim Joo Won: "Kata siapa? Kau tidur denganku malam ini...."
Kim 1: "Ibu, aku enggak suka Ayah."
Gil Ra Im: "Aku enggak suka kamu. Cepat tidur."
Kim 1: "Ibuuu!"
Kim Joo Won: "Tidur! Cepat!" (mendorong dahi Kim 1 dengan jari) "Tidur!" (menepuk-nepuk bokong Kim 1)
Kim 1: (bangun) "Ibuuu!"
Kim Joo Won: "Tidur!" (mendorong dahi Kim 1 dengan jari, menepuk-nepuk bokongnya) "Tidur! Cepat!"
Kim 1: (bangun) "Ibuuu!"
(Kim Joo Won mendorong dahi Kim 1 dengan jari)

<3 reaksi Gil Ra Im, "Aku enggak suka kamu."
<3 hubungan keluarga yang, seperti kata Shin di Princess Hours, kayak teman
<3 kebapakannya Kim Joo Won yang enggak kebapakan

Sabtu, 27 Oktober 2012

SALJU


Keduanya memang mirip, tetapi yang satu tidak bisa dimakan, lainnya dimakan setiap saat istimewa. Butiran salju di luar mirip gula halus yang mengubur kue putih salju bikinan tante saya, dingin dan meleleh di mulut. Kuenya pun bisa seakan meleleh di mulut. Rindu padanya membuat saya kembali nyamil, merogoh laci dan mengeluarkan sebungkus rahasia saya: kue.

Gadis Penjual Korek Api


Di malam Natal, orang-orang berjalan dengan wajah yang gembira memenuhi jalan di kota. Di jalan itu ada seorang gadis kecil mengenakan pakaian compang-camping sedang menjual korek api. "Mau beli korek api?" "Ibu, belilah korek api ini." "Aku tidak butuh korek api, sebab di rumah ada banyak." Tidak ada seorang pun yang membeli korek api dari gadis itu.
Tetapi, kalau ia pulang tanpa membawa uang hasil penjualan korek api, ia akan dipukuli oleh ayahnya yang pemabuk. 


Ketika akan menyeberangi jalan, grek! Grek! Tiba-tiba sebuah kereta kuda berlari dengan kencangnya. "Hyaaa! Awaaaaas!" Gadis itu melompat karena terkejut. Pada saat itu sepatu yang dipakainya terlepas dan terlempar entah ke mana. Sedangkan sepatu sebelahnya jatuh di seberang jalan. Ketika gadis itu bermaksud pergi untuk memungutnya, seorang anak laki-laki memungut sepatu itu lalu melarikan diri. "Wah, aku menemukan barang yang bagus."


Akhirnya gadis itu bertelanjang kaki. Di sekitarnya, korek api jatuh berserakan. Sudah tidak bisa dijual lagi. Kalau pulang ke rumah begini saja, ia tidak dapat membayangkan bagaimana hukuman yang akan diterima dari ayahnya. Apa boleh buat, gadis itu membawa korek api yang tersisa, lalu berjalan dengan sangat lelahnya. Terlihatlah sinar yang terang dari jendela sebuah rumah. Ketika gadis itu pergi mendekatinya, terdengar suara tawa gembira dari dalam rumah.


Di rumah, yang dihangatkan oleh api perapian, penghuninya terlihat sedang menikmati hidangan Natal yang lezat. Gadis itu meneteskan air mata. "Ketika Ibu masih hidup, di rumahku juga merayakan Natal seperti ini." Dari jendela terlihat pohon natal berkelip-kelip dan anak-anak yang gembira menerima banyak hadiah. Akhirnya cahaya di sekitar jendela hilang, dan di sekelilingnya menjadi sunyi.


Salju yang dingin terus turun. Sambil menggigil kedinginan, gadis itu duduk tertimpa curahan salju. Perut terasa lapar dan sudah tidak bisa bergerak. Gadis yang kedinginan itu mengembus-embuskan napasnya ke tangan. Tetapi sedikit pun tak menghangatkannya. "Kalau aku menyalakan korek api ini, mungkin akan sedikit terasa hangat." Kemudian gadis itu menyalakan sebatang korek api dengan menggoreskannya di dinding.


Crrrs, Lalu dari dalam nyala api muncul sebuah tungku pemanas. "Oh, hangatnya." Gadis itu mengangkat tangannya ke arah tungku pemanas. Pada saat api itu padam, tungku pemanas pun menghilang. Gadis itu menyalakan batang korek api yang kedua. Kali ini dari dalam nyala api muncul aneka macam hidangan.


Di depan matanya berdiri sebuah meja yang penuh dengan makanan hangat. "Wow! Kelihatannya enak." Kemudian seekor angsa panggang melayang menghampirinya. Tetapi, ketika ia berusaha menjangkau, apinya padam dan hidangan itu menghilang. Gadis itu segera mengambil korek apinya, lalu menyalakannya lagi. Crrrs!


Tiba-tiba gadis itu sudah berada di bawah sebuah pohon natal yang besar. "Wow! Lebih indah daripada pohon natal yang terlihat dari jendela tadi." Pada pohon natal itu terdapat banyak lilin yang bersinar. "Wah! Indah sekali!" Gadis itu tanpa sadar menjulurkan tangannya lalu korek api bergoyang tertiup angin. Tetapi cahaya lilin itu naik ke langit dan semakin redup. Lalu berubah menjadi bintang yang sangat banyak.


Salah satu bintang itu dengan cepat menjadi bintang jatuh. "Malam ini ada seseorang yang meninggal dan pergi ke tempat Tuhan, ya... Waktu Nenek masih hidup, aku diberitahu olehnya." Sambil menatap ke arah langit, gadis itu teringat kepada neneknya yang baik hati. Kemudian gadis itu menyalakan sebatang lilin lagi. Lalu di dalam cahaya api muncul wujud nenek yang dirindukannya. Sambil tersenyum, Nenek menjulurkan tangannya ke arah gadis itu.


"Nenek!" Serasa mimpi gadis itu melompat ke dalam pelukan Nenek. "Oh, Nenek, sudah lama aku ingin bertemu!" Gadis itu menceritakan peristiwa yang dialaminya, di dalam pelukan Nenek yang disayanginya. "Kenapa Nenek pergi meninggalkanku seorang diri? Jangan pergi lagi. Bawalah aku pergi ke tempat Nenek." Pada saat itu korek api yang dibakar anak itu padam. "Ah, kalau apinya mati, Nenek pun akan pergi juga. Seperti tungku pemanas dan makanan tadi..."


Gadis itu segera mengumpulkan korek api yang tersisa, lalu menggosokkan semuanya. Gulungan korek api itu terbakar, dan menyinari sekitarnya seperti siang hari. Nenek memeluk gadis itu dengan erat. Dengan diselimuti cahaya, nenek dan gadis itu pergi naik ke langit dengan perlahan-lahan. "Nenek, kita mau pergi ke mana?" "Ke tempat Tuhan berada."


Keduanya semakin lama semakin tinggi ke arah langit. Nenek berkata dengan lembut kepada gadis itu, "Kalau sampai di surga, ibumu telah menunggu dan menyiapkan makanan yang enak untuk kita." Gadis itu tertawa senang. Pagi harinya, orang-orang yang lewat di jalan menemukan gadis penjual korek api tertelungkup di dalam salju. "Gawat! Gadis kecil ini jatuh pingsan di tempat seperti ini." "Cepat panggil dokter!"


Tetapi terlambat. Dokter menggelengkan kepala. Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya semuanya menyesalkan kematian gadis itu. Ibu yang menolak membeli korek api pada malam kemarin menangis sambil memeluk gadis itu dan berkata, "Seandainya kemarin saya membeli korek apimu, tentu hal ini tidak akan terjadi." Tetapi mereka tidak tahu, gadis itu sekarang sudah bahagia di surga, bersama ibu dan neneknya.



Hari ini pagi-pagi sekali saya dibangunkan karena salju turun. Saya mencari dongeng yang berhubungan dengan salju, lalu terpikir Putri Salju, namun hubungannya tidak banyak, dan Gadis Penjual Korek Api adalah dongeng lainnya dengan setting di salju.

Bagian kesukaan saya dari dongeng terkenal ini adalah sewaktu Gadis Penjual Korek Api melihat bintang jatuh dan bertanya-tanya siapa yang meninggal. xo gege arasy

Jumat, 26 Oktober 2012

Krematorium


Setelah menuntaskan tugas saya di toilet, saya bergegas mengejar rombongan yang sudah agak jauh di depan, sembari menggerutu karena acara yang berderet-deret dalam satu hari. Kapan saya bisa duduk tenang dalam bus selama beberapa jam? Saya memasuki sebuah bangunan bersama yang lain, tanpa tahu fungsi bangunan itu. Yang saya lihat adalah ruangan gelap lagi dingin dengan empat buah mesin yang bersambung dengan kereta. Mesin itu memiliki jendela kecil dengan dua pintu. Lilin-lilin menyala diletakkan di atas kereta, atau gerobak. Saya berhenti. Rasa-rasanya saya pernah melihat sesuatu seperti ini....

"Lilly," kata saya pada seorang teman yang pernah setahun di Amerika sebagai pelajar pertukaran, "Tempat apa ini?"

"Krematorium."

Tentu saja! Gambar seperti ini pernah saya lihat di Encarta bertahun-tahun yang lalu. Kereta itu tentu saja untuk meletakkan tubuh yang nyawanya telah pergi, sebagai ganti lilin, kemudian mendorongnya masuk ke dalam jendela berpintu-pintu tadi. Saya ngeri sekaligus tertarik.

Selalu melayang ke pikiran saya bahwa tubuh-tubuh yang dimasukkan belum tentu semuanya sudah ditinggal nyawa. Ternyata tidak, syukurlah.

Krematorium itu dibangun supaya orang tidak usah repot mengubur. Sebagian abu dibuang ke sungai untuk menyamarkan jumlah orang yang tiada.

Ada pula ruangan dengan dua meja operasi dari logam bercat putih dan kotak obat. Digunakan untuk mengidentifikasi tubuh, walaupun jarang sekali. "Horrible," kata Charlotte, teman yang lain.



Selepas itu beberapa orang mempersembahkan lagu untuk yang telah tiada, di balik patung Menorah kami mendengarkan gesekan biola bercampur dengan suara dalam dan sedih mereka.

xo gege arasy

Senin, 22 Oktober 2012

CEKO: KAMP KONSENTRASI!!



Makam.


Ketika melihat tampak depan bangunan ini saya berpikir, wow keren. Sampai saya memasuki bagian dalamnya....



Tembok-tembok tinggi dibangun dan kawat berduri dipasang supaya dunia luar tak tahu apa yang terjadi di dalam. Di balik tembok-tembok ini orang dipukuli, yang melawan dipanggil.





Sebagai propaganda untuk wakil dunia yang ingin tahu, kamar mandi dengan wastafel mengilap dan cermin berkilat dibangun--tentu saja tidak pernah digunakan oleh yang tidak berhak.




Saya tidak tahu mengapa mereka membangun lorong sebagai jalan. Lorongnya begitu panjang, berlika-liku, dan hampir gelap total. Jendela tidak terlalu membantu karena jarak antar jendela begitu jauh. Saya seakan buta sewaktu berjalan melewatinya. Saya berusaha mengikuti teman saya di depan dan berusaha menyadari banyak orang bersama saya. Orang dengan klaustrofobia tidak boleh masuk--saya tidak bisa membayangkan bagaimana dulu sengsaranya orang dengan klaustrofobia yang dipaksa masuk.


Saya kira ini adalah makam, ternyata tempat tumpuan siku untuk berlatih menembak. Bentuknya salib.


Saya jadi teringat patung di Kementerian Sihir di cerita Harry Potter, sewaktu rezim Voldemort berkuasa. Apakah kita yang berada di atas atau di bawah?


Lagi-lagi propaganda. Ingat adegan di The Boy in the Striped Pyjamas sewaktu Bruno menonton film? Film itu benar-benar ada. Dan kolam renang ini adalah bagian darinya. Betapa hidup menyenangkan di dalam kamp.... Itulah yang ingin mereka gambarkan.


Kamar-kamar seperti ini mempunyai barak-barak dari kayu yang sebenarnya hanya cukup untuk sejumlah orang, itupun sudah tidak layak, tetapi lebih banyak orang lagi dipaksakan masuk. Tungku hanya satu dan mereka mengalami masalah di musim dingin. Toilet hanya satu atau dua dan orang-orang mengantre. Orang kehilangan privasi di sini. Pria bersama pria, wanita bersama wanita, anak-anak bersama anak-anak. Hanya keluarga yang beruntung yang bisa tetap tinggal bersama.

Ada juga ruangan sempit yang diisi begitu banyak orang, dengan satu jendela--yang ditutup! Ada satu lubang angin, tetapi itu tidak cukup dan banyak orang mati karena kesulitan bernafas.

Sehabis berkeliling saya menonton film tentang keseluruhan kamp, tetapi saya tidak mengerti.


Akhir post ini: puding cokelat yang manis lembut, menghibur.

CEKO: BIARKAN FOTO BERBICARA (alias malas nulis)





Tempat berdoa yang tersembunyi.


Di dekat tempat berdoa tadi ada pintu kecil menuju rumah.


Kita masih bisa melihat jejak-jejak kehidupan di sini: sepatu anak kecil (paling atas), setrika model lama. Memasuki rumah ini rasanya haru-biru, campur aduk deh pokoknya.


Tungku pemanas dengan persediaan kayunya.
















Mungkin itu teh.



Apa kalian melihat sesuatu yang rasa-rasanya kalian kenal?


Ya.





Hidup dalam persembunyian.... Tok, tok. Anne Frank, Anne Frank?