Dulu, dulu sekali Mbak Primamilia pernah cerita, waktu di Jerman dia menyambangi sebuah masjid bersama saudara-saudara sesama muslim, sebuah masjid yang bikin air matanya merebak dan hati sesak, karena tempatnya di belakang Tempat Pembuangan Akhir. Pula masjid itu hanya sebuah ruangan kotak, kecil.
Mencari masjid di Eropa memang sebuah petualangan, susah-susah gampang. Gampang ditambahkan karena sekarang ada internet dengan Google Map di dalamnya. Saya menemukan tiga masjid di Dresden. Tiga! Kejutan. Berawal dari pertanyaan teman, "Kamu puasa hari ini?" Saya memang berniat puasa hari itu, tetapi bukan karena saya tahu esoknya adalah Hari Raya Kurban, dan tidak jadi karena tidak sahur--mematikan alarm dan tidur lagi. Namun saya jadi tahu. Dan saya ingin sholat hari raya, ingiin sekali.
Saya pelototi baik-baik peta, kalau ada satu-dua hal yang bisa saya ingat, itu bagus. Pertama saya pergi ke Sudvorstadt, tempat masjid satu-satunya yang dikenal host sister saya. Dia ingin menemani saya tapi harus sekolah mengemudi. Sambil menjinjing tas dan gelas yoghurt rasa vanila tanpa sendok yang membuat saya harus mendongak-dongak untuk meminumnya dan parno dilihati orang-orang, saya menengok kiri-kanan jalan setelah Stasiun Kota seperti diperintahkan host sister saya, mencari-cari masjid. Saya temukan bangunan cokelat dengan kubah berwarna biru terang cantik, megah dan begitu bangga berdiri di hadapan saya dan jalan raya. Tunggu, tak mungkin masjid berdiri seterang itu di sini. Ya, tepat, itu gereja--gereja dekat masjid. Aha, berarti saya sudah di daerah yang betul.
Saya melenggok dan mata saya melebar: itu jalannya! Jalan yang saya kenal dari peta. Saya kenal, saya kenal jalan-jalan ini. Tetapi di mana masjidnya? Tak tampak satu pun. Saya menggerutui masjid Eropa yang tak punya minaret alias menara, sambil di lain sisi menyadari azan tak boleh terdengar lebih dari beberapa meter di sini. Lelah berjalan otak saya lebih lesu, saya mengincar wanita-wanita berjilbab untuk ditanyai. Saya berhasil mengejar seorang ibu, ibu-ibu, tampaknya imigran Turki, berwajah kurang ramah, namun mungkin saya saja yang judgemental, dan bertanya di mana masjidnya. Tidak tahu. Tidak ada di sekitar sini. Waduh, itu jawaban yang sama dengan milik seorang ibu ramah di depan apartemen, yang saya tanyai setelah memberanikan diri. Dulu ada masjid di dekat sini, tapi sekarang tidak berfungsi lagi. Tapi dia tidak tahu lagi.
Baik, mari ke lain tempat. Kaki saya lelah berjalan, mata memburu ingin memejam, dingin memeluk kuat-kuat sampai rusuk patah dan hancur berkeping, tapi hati saya membara oleh api semangat. Apa yang bisa membuat saya lebih senang dari menemukan masjid hari itu? Gol saya. Masjid kedua ada di dekat sekolah saya, St Benno-Gymnasium. Saya sudah membayangkan, saya akan berangkat sholat Zuhur waktu istirahat siang dengan berjalan kaki saja.... Kata ibu saya, tidak ada tempat sholat di sekolah dan memang benar dan saya harus menjamak-menjamak-menjamak.
Saya berbelok. Klang! Mata saya terpaku pada papan penunjuk jalan. Marschnerstrasse. Yak, itu jalannya! Alhamdulillah saya dimudahkan. Saya mondar-mandir, nomor masjid itu adalah 2, tetapi kenapa saya hanya dipusingkan oleh nomor-nomor 25, 32, 28? Saya melewati sebuah bangunan dengan jendela besar dan atap berlengkung-lengkung seperti pintu-pintu masjid dan mendadak saya melihat huruf-huruf arab dari jendela itu. Ya Tuhan, saya sudah nemu masjidnya, bisik saya dalam hati, meneriakkan kemenangan. Namun pintu terkunci. Otak saya berputar lagi, ya ampun, apa yang saya kira huruf arab itu ternyata guratan-guratan di pipa kayu raksasa, itu adalah bangunan pengolah energi atau semacamnya. Keringat dingin (habis di sini dingin) menitik di atas bibir. Saya sudah capek, tapi saya ingiin, ingin besok sholat hari raya di masjid....
Dalam perjalanan pulang saya menyadari Marschnerstrasse sangat panjang. Ya ampun, di saat waktu sudah tidak nutut begini malah nemu....
Dan hari ini, saya pergi ke Frauenkirche untuk mengambil beberapa foto. Tapi dingin menyengat, angin menerjang waktu saya berjalan ke arahnya. Saya tidak kuat dan kembali ke sekolah. Eh, tiba-tiba kepikiran nyari masjid lagi. Betul! Sekaranglah waktunya. Udara mendadak berdesir menghangat waktu saya menyusuri Marschnerstrasse, saya bersyukur Tuhan masih sayang sama saya. Namun lagi-lagi saya tidak nemu. Nomor itu-ituu saja. Ya Tuhan, tolonglah saya.... Saya berucap dalam hati. Nasruminallah, nasruminallah....
Kayaknya itu sudah jalan lain deh. Tapi belum ada plang jalan lain. Saya berjalan terus dan tiba-tiba ia sudah ada di depan mata saya. Pertolongan Tuhan sudah datang. Ialah Marwa Elsherbiny, masjid yang saya cari, dengan nama Deutsch-nya di bawahnya.
Buka setiap hari, lima waktu sholat, dengan acara mengaji di sela-sela.
Inikah masjid yang diceritakan Mbak Primamilia? Begitu persis dengan deskripsinya. Kalau bukan, masa sih semua masjid di sini kotak dan di belakang tempat sampah?
Alih-alih sedih karena masjidnya di belakang tempat sampah, saya malah bahagia karena sudah menemukannya. Saya dorong gerbangnya, ternyata membuka. Saya akan ke sana kalau sudah boleh masuk.
xo gege arasy
Subhanallaah :')
BalasHapuskereen! KEREN! aakhirnya NEMU! ><
ah, tapi ironis jg :(
di masjid itu nggak ada orangnya tah Ken?
trus gmana, jadi sholat ied di sana kah?
udah makan kambing?
*btw, kelas kita pindah, Ken!
nggak bisa zu.... kan aku nggak nemu sampai malem dan hari itu juga aku harus pulang
Hapusaku tau dari dinda sama kamu. hhhhh :(
hay ken ini akika Garnis.....
Hapussalam buat pak imamnya
jgn nitipin amanat yg berat dong :'(
Hapuslega ya udah nemu :D
BalasHapusfoto interiornya entar yaaa
wawancara juga imam mesjidnya :D
interior ----> oke.
Hapuswawancara ----> enggak ah --'