Sabtu, 27 Oktober 2012

SALJU


Keduanya memang mirip, tetapi yang satu tidak bisa dimakan, lainnya dimakan setiap saat istimewa. Butiran salju di luar mirip gula halus yang mengubur kue putih salju bikinan tante saya, dingin dan meleleh di mulut. Kuenya pun bisa seakan meleleh di mulut. Rindu padanya membuat saya kembali nyamil, merogoh laci dan mengeluarkan sebungkus rahasia saya: kue.

Gadis Penjual Korek Api


Di malam Natal, orang-orang berjalan dengan wajah yang gembira memenuhi jalan di kota. Di jalan itu ada seorang gadis kecil mengenakan pakaian compang-camping sedang menjual korek api. "Mau beli korek api?" "Ibu, belilah korek api ini." "Aku tidak butuh korek api, sebab di rumah ada banyak." Tidak ada seorang pun yang membeli korek api dari gadis itu.
Tetapi, kalau ia pulang tanpa membawa uang hasil penjualan korek api, ia akan dipukuli oleh ayahnya yang pemabuk. 


Ketika akan menyeberangi jalan, grek! Grek! Tiba-tiba sebuah kereta kuda berlari dengan kencangnya. "Hyaaa! Awaaaaas!" Gadis itu melompat karena terkejut. Pada saat itu sepatu yang dipakainya terlepas dan terlempar entah ke mana. Sedangkan sepatu sebelahnya jatuh di seberang jalan. Ketika gadis itu bermaksud pergi untuk memungutnya, seorang anak laki-laki memungut sepatu itu lalu melarikan diri. "Wah, aku menemukan barang yang bagus."


Akhirnya gadis itu bertelanjang kaki. Di sekitarnya, korek api jatuh berserakan. Sudah tidak bisa dijual lagi. Kalau pulang ke rumah begini saja, ia tidak dapat membayangkan bagaimana hukuman yang akan diterima dari ayahnya. Apa boleh buat, gadis itu membawa korek api yang tersisa, lalu berjalan dengan sangat lelahnya. Terlihatlah sinar yang terang dari jendela sebuah rumah. Ketika gadis itu pergi mendekatinya, terdengar suara tawa gembira dari dalam rumah.


Di rumah, yang dihangatkan oleh api perapian, penghuninya terlihat sedang menikmati hidangan Natal yang lezat. Gadis itu meneteskan air mata. "Ketika Ibu masih hidup, di rumahku juga merayakan Natal seperti ini." Dari jendela terlihat pohon natal berkelip-kelip dan anak-anak yang gembira menerima banyak hadiah. Akhirnya cahaya di sekitar jendela hilang, dan di sekelilingnya menjadi sunyi.


Salju yang dingin terus turun. Sambil menggigil kedinginan, gadis itu duduk tertimpa curahan salju. Perut terasa lapar dan sudah tidak bisa bergerak. Gadis yang kedinginan itu mengembus-embuskan napasnya ke tangan. Tetapi sedikit pun tak menghangatkannya. "Kalau aku menyalakan korek api ini, mungkin akan sedikit terasa hangat." Kemudian gadis itu menyalakan sebatang korek api dengan menggoreskannya di dinding.


Crrrs, Lalu dari dalam nyala api muncul sebuah tungku pemanas. "Oh, hangatnya." Gadis itu mengangkat tangannya ke arah tungku pemanas. Pada saat api itu padam, tungku pemanas pun menghilang. Gadis itu menyalakan batang korek api yang kedua. Kali ini dari dalam nyala api muncul aneka macam hidangan.


Di depan matanya berdiri sebuah meja yang penuh dengan makanan hangat. "Wow! Kelihatannya enak." Kemudian seekor angsa panggang melayang menghampirinya. Tetapi, ketika ia berusaha menjangkau, apinya padam dan hidangan itu menghilang. Gadis itu segera mengambil korek apinya, lalu menyalakannya lagi. Crrrs!


Tiba-tiba gadis itu sudah berada di bawah sebuah pohon natal yang besar. "Wow! Lebih indah daripada pohon natal yang terlihat dari jendela tadi." Pada pohon natal itu terdapat banyak lilin yang bersinar. "Wah! Indah sekali!" Gadis itu tanpa sadar menjulurkan tangannya lalu korek api bergoyang tertiup angin. Tetapi cahaya lilin itu naik ke langit dan semakin redup. Lalu berubah menjadi bintang yang sangat banyak.


Salah satu bintang itu dengan cepat menjadi bintang jatuh. "Malam ini ada seseorang yang meninggal dan pergi ke tempat Tuhan, ya... Waktu Nenek masih hidup, aku diberitahu olehnya." Sambil menatap ke arah langit, gadis itu teringat kepada neneknya yang baik hati. Kemudian gadis itu menyalakan sebatang lilin lagi. Lalu di dalam cahaya api muncul wujud nenek yang dirindukannya. Sambil tersenyum, Nenek menjulurkan tangannya ke arah gadis itu.


"Nenek!" Serasa mimpi gadis itu melompat ke dalam pelukan Nenek. "Oh, Nenek, sudah lama aku ingin bertemu!" Gadis itu menceritakan peristiwa yang dialaminya, di dalam pelukan Nenek yang disayanginya. "Kenapa Nenek pergi meninggalkanku seorang diri? Jangan pergi lagi. Bawalah aku pergi ke tempat Nenek." Pada saat itu korek api yang dibakar anak itu padam. "Ah, kalau apinya mati, Nenek pun akan pergi juga. Seperti tungku pemanas dan makanan tadi..."


Gadis itu segera mengumpulkan korek api yang tersisa, lalu menggosokkan semuanya. Gulungan korek api itu terbakar, dan menyinari sekitarnya seperti siang hari. Nenek memeluk gadis itu dengan erat. Dengan diselimuti cahaya, nenek dan gadis itu pergi naik ke langit dengan perlahan-lahan. "Nenek, kita mau pergi ke mana?" "Ke tempat Tuhan berada."


Keduanya semakin lama semakin tinggi ke arah langit. Nenek berkata dengan lembut kepada gadis itu, "Kalau sampai di surga, ibumu telah menunggu dan menyiapkan makanan yang enak untuk kita." Gadis itu tertawa senang. Pagi harinya, orang-orang yang lewat di jalan menemukan gadis penjual korek api tertelungkup di dalam salju. "Gawat! Gadis kecil ini jatuh pingsan di tempat seperti ini." "Cepat panggil dokter!"


Tetapi terlambat. Dokter menggelengkan kepala. Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya semuanya menyesalkan kematian gadis itu. Ibu yang menolak membeli korek api pada malam kemarin menangis sambil memeluk gadis itu dan berkata, "Seandainya kemarin saya membeli korek apimu, tentu hal ini tidak akan terjadi." Tetapi mereka tidak tahu, gadis itu sekarang sudah bahagia di surga, bersama ibu dan neneknya.



Hari ini pagi-pagi sekali saya dibangunkan karena salju turun. Saya mencari dongeng yang berhubungan dengan salju, lalu terpikir Putri Salju, namun hubungannya tidak banyak, dan Gadis Penjual Korek Api adalah dongeng lainnya dengan setting di salju.

Bagian kesukaan saya dari dongeng terkenal ini adalah sewaktu Gadis Penjual Korek Api melihat bintang jatuh dan bertanya-tanya siapa yang meninggal. xo gege arasy

Jumat, 26 Oktober 2012

Krematorium


Setelah menuntaskan tugas saya di toilet, saya bergegas mengejar rombongan yang sudah agak jauh di depan, sembari menggerutu karena acara yang berderet-deret dalam satu hari. Kapan saya bisa duduk tenang dalam bus selama beberapa jam? Saya memasuki sebuah bangunan bersama yang lain, tanpa tahu fungsi bangunan itu. Yang saya lihat adalah ruangan gelap lagi dingin dengan empat buah mesin yang bersambung dengan kereta. Mesin itu memiliki jendela kecil dengan dua pintu. Lilin-lilin menyala diletakkan di atas kereta, atau gerobak. Saya berhenti. Rasa-rasanya saya pernah melihat sesuatu seperti ini....

"Lilly," kata saya pada seorang teman yang pernah setahun di Amerika sebagai pelajar pertukaran, "Tempat apa ini?"

"Krematorium."

Tentu saja! Gambar seperti ini pernah saya lihat di Encarta bertahun-tahun yang lalu. Kereta itu tentu saja untuk meletakkan tubuh yang nyawanya telah pergi, sebagai ganti lilin, kemudian mendorongnya masuk ke dalam jendela berpintu-pintu tadi. Saya ngeri sekaligus tertarik.

Selalu melayang ke pikiran saya bahwa tubuh-tubuh yang dimasukkan belum tentu semuanya sudah ditinggal nyawa. Ternyata tidak, syukurlah.

Krematorium itu dibangun supaya orang tidak usah repot mengubur. Sebagian abu dibuang ke sungai untuk menyamarkan jumlah orang yang tiada.

Ada pula ruangan dengan dua meja operasi dari logam bercat putih dan kotak obat. Digunakan untuk mengidentifikasi tubuh, walaupun jarang sekali. "Horrible," kata Charlotte, teman yang lain.



Selepas itu beberapa orang mempersembahkan lagu untuk yang telah tiada, di balik patung Menorah kami mendengarkan gesekan biola bercampur dengan suara dalam dan sedih mereka.

xo gege arasy

Senin, 22 Oktober 2012

CEKO: KAMP KONSENTRASI!!



Makam.


Ketika melihat tampak depan bangunan ini saya berpikir, wow keren. Sampai saya memasuki bagian dalamnya....



Tembok-tembok tinggi dibangun dan kawat berduri dipasang supaya dunia luar tak tahu apa yang terjadi di dalam. Di balik tembok-tembok ini orang dipukuli, yang melawan dipanggil.





Sebagai propaganda untuk wakil dunia yang ingin tahu, kamar mandi dengan wastafel mengilap dan cermin berkilat dibangun--tentu saja tidak pernah digunakan oleh yang tidak berhak.




Saya tidak tahu mengapa mereka membangun lorong sebagai jalan. Lorongnya begitu panjang, berlika-liku, dan hampir gelap total. Jendela tidak terlalu membantu karena jarak antar jendela begitu jauh. Saya seakan buta sewaktu berjalan melewatinya. Saya berusaha mengikuti teman saya di depan dan berusaha menyadari banyak orang bersama saya. Orang dengan klaustrofobia tidak boleh masuk--saya tidak bisa membayangkan bagaimana dulu sengsaranya orang dengan klaustrofobia yang dipaksa masuk.


Saya kira ini adalah makam, ternyata tempat tumpuan siku untuk berlatih menembak. Bentuknya salib.


Saya jadi teringat patung di Kementerian Sihir di cerita Harry Potter, sewaktu rezim Voldemort berkuasa. Apakah kita yang berada di atas atau di bawah?


Lagi-lagi propaganda. Ingat adegan di The Boy in the Striped Pyjamas sewaktu Bruno menonton film? Film itu benar-benar ada. Dan kolam renang ini adalah bagian darinya. Betapa hidup menyenangkan di dalam kamp.... Itulah yang ingin mereka gambarkan.


Kamar-kamar seperti ini mempunyai barak-barak dari kayu yang sebenarnya hanya cukup untuk sejumlah orang, itupun sudah tidak layak, tetapi lebih banyak orang lagi dipaksakan masuk. Tungku hanya satu dan mereka mengalami masalah di musim dingin. Toilet hanya satu atau dua dan orang-orang mengantre. Orang kehilangan privasi di sini. Pria bersama pria, wanita bersama wanita, anak-anak bersama anak-anak. Hanya keluarga yang beruntung yang bisa tetap tinggal bersama.

Ada juga ruangan sempit yang diisi begitu banyak orang, dengan satu jendela--yang ditutup! Ada satu lubang angin, tetapi itu tidak cukup dan banyak orang mati karena kesulitan bernafas.

Sehabis berkeliling saya menonton film tentang keseluruhan kamp, tetapi saya tidak mengerti.


Akhir post ini: puding cokelat yang manis lembut, menghibur.

CEKO: BIARKAN FOTO BERBICARA (alias malas nulis)





Tempat berdoa yang tersembunyi.


Di dekat tempat berdoa tadi ada pintu kecil menuju rumah.


Kita masih bisa melihat jejak-jejak kehidupan di sini: sepatu anak kecil (paling atas), setrika model lama. Memasuki rumah ini rasanya haru-biru, campur aduk deh pokoknya.


Tungku pemanas dengan persediaan kayunya.
















Mungkin itu teh.



Apa kalian melihat sesuatu yang rasa-rasanya kalian kenal?


Ya.





Hidup dalam persembunyian.... Tok, tok. Anne Frank, Anne Frank?