Selasa, 31 Mei 2016

Tumpeng

Bukan sekedar nasi runcing berwarna kuning dikelilingi bermacam-macam lauk, tumpeng adalah simbol seorang Indonesia, khususnya orang Jawa. Nasi yang ada dipikirkan sedemikian sungguh-sungguh, bagaimana agar rasanya lebih enak dari nasi biasa. Jika orang Bali punya nasi berwarna merah, maka orang Jawa punya yang berwarna kuning karena diberi kunyit. Sudah menarik begitu, nasi kuning masih dicetak bentuk kerucut.

Setiap orang yang membuat tumpeng, terutama ibu, selalu berlomba membuat yang paling baik. Ini adalah budaya yang patut dilestarikan karena memancing kreativitas. Orang dengan kelihaian memasak luar biasa belum tentu dapat menyusun tumpeng yang indah. Coba seorang koki dan ibu yang baisa menangani pesanan tumpeng berlomba membuat tumpeng, belum tentu koki yang menang.

Lauk tumpeng pun dibudayakan sama, meskipun tentu saja ada kreasi baru. Telur biasanya terlihat lucu karena didadar lantas digulung dan dipotong sesenti-sesenti. Apabila ada telur diceplok begitu saja dan ditaruh di tumpeng maka itu hampir bisa dikatakan menyalahi pakem.

Kemudian ada kering tempe. Di mana-mana kering tempe yang dijual bentuknya sama, kalau tidak korek api, ya, kotak-kotak tipis. Ini tidak diragukan lagi adalah suatu budaya yang nyeni, meskipun banyak orang tidak mengenalinya sebagai budaya, atau tidak sadar.

Tidak ketinggalan ada begedel alias kentang goreng bentuk bola dan mi telur yang dimasak goreng. Semuanya ini harus disusun sedemikian rupa sehingga orang yang melihat ingin langsung mengambil piring, tidak boleh campur aduk. Keterampilan menyusun sangat menentukan dalam lomba tumpeng. Seperti melukis, warna-warna tidak boleh saling menabrak dan meletakkan suatu bangun harus pada tempatnya.

Nasi kerucut biasanya diletakkan di tengah-tengah sebagai pusat. Kalau dalam melukis, ini mirip seperti segiempat yang digunakan sebagai pusat, dari mana seorang pelukis membuat sudut pandang. kemudian lauk ditata di sekelilingnya, kalau bisa penataannya menonjolkan satu sama lain. Ketika sudah selesai, sebuah tumpeng akan sama layaknya dengan benda-benda lain untuk dipajang di museum. Sebuah tumpeng adalah karya seni, budaya yang menarik.

*Tulisan ini dibuat pada tahun 2011.

Senin, 30 Mei 2016

Ibu, apakah dunia ini?

(lampu fade in, menyorot tengah panggung)
(Ning sedang bermain dengan batu-batu. Ekspresi wajahnya polos. Lamat-lama terdengar tembang dolanan) (lampu menyeluruh)

Yo prakonco dolanan ing njobo
Padhang bulan padhange koyo rino
Rembulane sing awe-awe
Ngelingake ojo turu sore-sore

(Ning berlari-lari di atas panggung mengikuti suara, ekspresinya tertarik, seolah sedang bermain dengan sebayanya)

Ayo teman bermain di halaman
Terang bulan terang bagaikan siang
Rembulannya melambai-lambai
Mengingatkan jangan tidur sore-sore

(tembang hampir habis, Ibu memasuki panggung, wajahnya penuh kehangatan)

Ibu: Ning... ayo makan dulu!
Ning: Ya, Ibu.

(Ning menghampiri ibunya, mereka saling tersenyum lalu bergandengan tangan keluar panggun)
(lampu fade out)

(terdengar suara mesin jahit dan Ibu berdeham-deham)
(lampu fade in)
(Ibu sedang menjahit, ekspresinya tenang. Ning duduk di kursi sebelahnya sambil mengamati)

Ning: Ibu bikin apa?
Ibu: Baju.

(hening sejenak)

Ning: Ibu, apakah dunia ini?

Dunia ini adalah persepsi, Nak. Pandangan. Pandanglah dengan nurani yang lurus. Sehingga orang akan mendengar nurani itu dari apa yang kamu perbuat. Pemikiran tak mempunyai kebenaran atau kesalahan yang hakiki, tetapi nurani takkan menyalahi kebenaran atau membenarkan kesalahan. Nurani bicara sendiri.

Ning: Oke... (mengangguk) mmm... Bisa lebih sederhana lagi nggak?
Ibu: Ha ha ha... kamu pasti ngerti kok kalau sudah lebih besar.
Ning: Ibu sih... Pake bahasa tingkat tinggi.
Ning: Bu, aku takut jadi roang dewasa. Aku mau jadi anak-anak, terus sama ibu. Orang dewasa nggak boleh takut, soalnya, siapa yang nanti bilang sama anak-anaknya kalau gelap itu sebetulnya bumi lagi selimutan? Padahal aku masih takut, Bu... Dunia ini begitu besarnya.
Ibu: Ibu ngerti. Kamu tidak perlu takut, Ning... Jadi orang dewasa sama enaknya kok. (tersenyum)
Ning: Sama sulitnya, maksud Ibu.
Ibu: Iya.
Ning: Berarti gampang dong.
Ibu: Lha, gampang nggak jadi anak-anak?
Ning: Nggak terlalu sih...

(lampu fade out)

Minggu, 29 Mei 2016

"Where d'you wanna go?"

"Where d'you wanna go?"

Ouch! That question again. A million times she had asked me. I wondered why she wasn't bored. I lifted my head from a book I was reading and slowly turned at her.

"Make your decision! Now!" demanded my mother.

I sighed and shook my head. I hated this kind of dialogue and I didn't understand why I had to answer such a question. It would be better if she sent me to one and didn't ask me what I wanted.

"Well?"

"Er... What about SMA 10?" I said.

My mother frowned. "But there ain't a Language Department. You said you want to enter a Language Department."

I thought I knew what I would do. And it was decided. I am going to SMA 1... or, hopefully.

"What d'you actually wanna be?" asked my mother with a spacing-out voice.

"Er... What do I actually wanna be?" Many things to do. Being a doctor sounded cool but it wasn't really me. What about being a teacher? I'd think twice for this. But rather than that... "I want to be an illustrator for children's books," I said.

"Then you have to work hard," said my mother. "You want to enter a Language Department, but all Art Departments demand you to be from a Science Department."

"Yeah, I'm gonna work hard. What else can I do?"

My mother smiled.

*Tulisan ini dibuat tahun 2009, dengan tambahan catatatan dari Miss Tika, "You are great in writing". Thank you, Miss Tika.

Sabtu, 28 Mei 2016

Kebab Turki Baba Rafi

Harum roti dan daging yang manis seketika menyambut hidung. Bercak-bercak cokelat emas tanda panggangan membentuk pola acak pada kulit putih susu. Sayuran hijau menyembul dari ujung gulungan seperti rambut yang tumbuh dari telinga orang, memberi kesan cerah pada keseluruhan roti ajaib berbentuk gelondong itu. Bau dan penampilannya yang menggoda itu dibungkus kertas kaku warna kuning yang jadi ternoda minyak sana-sini.

Ujung yang renyah berbunyi "krek" ketika digigit, belum apa-apa sensasi khas margarin meluber di lidah, berlanjut dengan rasa manis yang menyebar ketika digigit lebih jauh. Agaknya wangi roti itu terasa di mulut. Setelah itu gurih mayones bercampur dengan manis kecut saus tomat, sungguh mereka betul-betul berteman. Saus tomat yang merah itu membuat mulut belepotan persis vampir habis mengisap darah, tetapi tak ada yang keberatan karena lembutnya daging segera dicecap lidah. Dari bau daging yang khas, orang akan langsung tahu bahwa itu daging kambing. Semua rasa bersatu, masih diramaikan lagi oleh bawang bombai yang renyah, segar, dan sedikit pedas. Kemudian ada sayuran yang tersembul tadi. Ternyata rasanya datar-datar saja, tetapi kalau dikunyah bunyinya asyik. Tidak salah dijadikan komposisi, selain karena menyehatkan.

Pendek kata, setelah semua tulisan di atas, tinggallah wadah kuning yang masih menyisakan bau wangi, bertuliskan "Kebab Turki Baba Rafi".

*Tulisan ini dibuat pada tahun 2011.

Jumat, 27 Mei 2016

Meja

Sebuah meja tua, kalau kau tanya
tempat favoritku apa
Bukan laut dan debur ombak, bukan
Atau malah rangkaian pegunungan sana

Meja itu berbisik pada kita
agar pergi ke bawahnya
Dan di sana aku menemukan
banyak tempat kesayangan orang

Meja itu menantangku berlayar
Mengarungi sungai-sungai di benua
yang tak terbayangkan, bisa dibilang
Semua tergantung daya imaji kita

Alih-alih taplak meja yang dilahap usia, perlahan
aku menyibak helai kuntum-kuntum tirai dunia
Tak lagi Sabang ke Merauke, tidak
Melainkan dari Oradea sampai Birad

Memang bukan laut dan debur ombak
dan rangkaian pegunungan sana
Tetapi seluruh dunia, di bawah sebuah meja tua
Di sinilah aku menemukannya

*Puisi ini ditulis tahun 2008.