Selasa, 09 Desember 2014

Jawaban Saya Sudah Bener Belum, Bu?

"Apa yang akan terjadi kalau dia gak tahu di mana Indonesia itu?"

Saya berulang kali melempar tangan ke udara. Menganggapnya remedial tetapi serius. Bukan seperti fisika yang makin diremidi malah makin merosot. Saya mengejar kepuasan mendengar kata 'benar' dari si penanya. Setiap putaran saya pikirkan benar-benar. Bagaikan berjudi, I just had to hit the jackpot. Kalau belum bener, ya, coba lagi, coba lagi sampai bener.

Pertanyaannya sederhana. Ada seorang guru berkewarganegaraan asing di tempatmu yang tidak tahu Indonesia itu di mana. Dia berpikir Indonesia pastilah di suatu tempat sebelah Bali.

Anda bisa mengoreksinya.

Atau Anda bisa memilih diam saja, memelintir ujung-ujung rambutmu yang keriwil dan memelototi langit-langit.

Mana saja, apa yang akan terjadi kalau dia tidak tahu di mana Indonesia itu?

"Kita tidak mengejar kebenaran," si penanya mengingatkan, barangkali mendeteksi kegemasan pada kernyitan dahi saya. Inilah filsuf yang sejati, yang lebih memihak proses ketimbang produk. Gambaran mengenai makna filsafat yang saya dapatkan di kelas Filsafat Ilmu terlalu sederhana, karena isinya hanya tentang mengejar kebenaran saking cintanya.

Meskipun sudah diingatkan, saya tetap memburu dengan bernafsu. Jangan mengambinghitamkan sistem pendidikan di Indonesia dulu. Anda pun akan kesal kalau diberi ending menggantung, kan? Hayo. Ambil contoh satu film. You didn't get to see the pair together, even though they were perfect in the film. Rasanya ingin mengirimi surat si penulis naskah. Kalau bisa guncang-guncang bahunya sampai dia jawab, mengapa Anda tidak melihat si cowok menikahi si cewek sampai rambutnya memutih dan bercucu dua belas orang.

Duduk dua belas jam di dalam kereta membuat orang gelisah, meskipun ada banyak pemandangan yang bisa dilihat.

Ini juga yang membuat saya tidak bisa menikmati film Tekkon Kinkreet. Seandainya Anda orang yang hobi mengintip halaman terakhir bahkan sebelum membaca judul bab pertama, Tekkon Kinkreet tidak akan jadi buku yang menyediakan kepuasan untuk itu.

And if you answer something correctly (or guess), you get a reward. Entah itu bintang emas di papan kelas atau ciuman dari jauh. Ihi.

"Akan jadi seperti apa kacamata pandangmu setelah kamu pulang dari acara ini? Berbedakah dengan kacamatamu sebelumnya?"

"Bagaimana kamu akan menggambar perasaanmu di atas kertas ini?"

Semuanya tidak mempunyai jawaban yang benar dan si penanya tidak mau mengatakan jawaban saya benar, bahkan yang mendekati seperti 'tepat' pun tidak. Memuji pun tidak. Tidak ada kesan bagi orang lain bahwa jawaban mereka salah. Semuanya pertanyaan untuk mengenali diri sendiri, yang kadang Anda takuti dan tidak bisa nilai dengan baik.

Belajar sih belajar. Nanti kalau direkrut jadi pendidik bangsa, saya akan melesat mendekati anak yang bolak-balik bertanya, "Jawaban saya sudah bener belum, Bu?" dan membisikkan mantra nan sakti, "Kita tidak mengejar kebenaran. Ingat!" Nanti jika sudah besar, dia akan tahu nilai sesuatu dan bukan cuma harganya.

Tetapi masalahnya sampai hari ini saya tidak punya jawaban.

Mungkin Anda punya? Jangan kesal kalau saya lantas menghadiahi Anda dengan kernyitan gemas di dahi, lalu lari ke penjawab lain untuk mendapatkan ketidakpuasan yang sama...

Bawang Bombai

Manusia itu sebutir bawang bombai. Sebelum ada yang marah-marah karena otak, jantung, dan paru-parunya diibaratkan segampang bola umbi kehijauan, saya mau mengoceh. Sebutir bawang bombai sebenarnya cuma, ya, tengahnya (yang bentuknya gimana masih misteri untuk saya karena terlanjur dipotong-potong) disembunyikan berlapis-lapis, berselubung-selubung tetek-bengek, kadang-kadang membuat mata perih atau sekadar menguarkan bau khas yang membuat perut berkeruyukan. Kecuali Anda alergi bawang bombai, bagian terluar bawang bombai adalah pembelaan atas diri sendiri, atas bagian paling tengah yang terlalu rapuh atau, entahlah, malu-malu dan lebih memilih langsung berakhir dalam sup, tanpa Anda perlu tahu apa sebenarnya yang sedang Anda makan.

Kalau sampai dia tahu, saya akan mengelupas wajah saya!

Mau ditaruh mana wajah saya?

Taruh di punggung?

Persis bagian terluar bawang bombai, pembelaan rasanya manis samar-samar. Membuat saya menolak mengajukan pertanyaan wajib, "Saya? Egois?" dan bahkan sudah sedia jawabannya sebelumnya, "Ah, egois itu sekali-sekali perlu kok buat kesehatan jiwa."

Administrasi jiwa, ya ampun, ternyata repot sekali. Tidak usah dipilah-pilah dan mari anut YOLO.