[sumber] |
Ketika cahaya mati dan bintang-bintang berkedip laiknya ribuan pecahan kaca di lautan pasir hitam, kau berdiri mengapung di ruang angkasa, dengan antenamu menarikku mendekat dan aku terbang ke arahmu dengan roketku, mencoba bersalaman denganmu dan mengukir puisi.
Secangkir teh rintik-rintik hujan takkan pernah cukup gambarkan hangatnya kepribadianmu yang memelukku jauh, jauh di alam bawah sadarku.
Aku mengocehkan cinta dalam kata-kata tak berarti yang mungkin terpantul dari besi pertahanan di telingamu, jatuh di sepatumu.
Sebab itu semua tak berarti dibandingkan dirimu adanya.
Bagaimana mungkin mengisi gelas yang penuh?
Namun dengan senyum kutimba hari esok, di mana harapan bersamamu seperti emas dalam lautan, selalu ada dan diketahui dan didengar Pemilik Langit.
Sampaikah rasa terimakasihku padamu?
Kugantungkan ia di pohon kenari di halaman rumahmu, tunggulah musim semi dan aku akan kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar