Rabu, 23 April 2014

Dinda, Ibu Hamil, dan Path

Dinda, ibu hamil, dan Path. Ceritanya, Dinda komplain (saya lebih memilih kata ini daripada 'mencaci-maki') terhadap ibu hamil yang meminta dia untuk memberikan tempat duduknya di kendaraan umum. Dan lancarlah pengadilan maya berjalan. Setiap kali membacanya, saya sesak. Sedih. Tahu cerita Putu Wijaya, 'Peradilan Rakyat'? Keabu-abuan yang menyamarkan hitam-putih ditawarkan cerita pengacara yang dengan kelihaiannya membebaskan koruptor pemakan negara, untuk memperingatkan bangsa agar tidak lalai. Supaya tidak main-main dengan kejahatan. Bahkan bukan demi uang. Tentu saja pengacara itu mati, dibunuh amukan rakyat. Sedemikian mudahnya kita berbuat, mudah lupa, jika dalam kawanan. Kita begitu gampang, kan, tertawa keras-keras seperti tidak punya tetangga kalau sedang bercanda dengan teman-teman kita. Apa kata Mark Twain yang selalu saya ulang-ulang kepada diri sendiri? 'Jika Anda mendapati diri Anda berada dalam mayoritas, itulah saatnya Anda berhenti dan merenung'. Saya pikir di sinilah gunanya partai oposisi, untuk menjaga agar kita tetap waras. Tetapi tidak semua emosi kolektif melahirkan nasib seperti si pengacara. Koin Cinta untuk Prita juga produk dari gerakan massal.

Tidak terhindarkan, saya tidak bisa dengan tenang nonton bioskop duniawi ini. Sebagai bagian dari meja hijau relatif ini, kecenderungan saya adalah untuk membela tokoh ibu hamil. Kali ini saya mengkhianati sendiri kecenderungan yang sudah ber-SOP itu. Saya melihat sesuatu yang lain. Saya sesak untuk Dinda. Saya tidak menganggap pembelaannya elegan, tetapi tetap tidak bilang dia tidak punya empati. Mungkin kita para komentator lah yang tidak punya empati. Di antara sekian banyak pengadilan maya, masak sih tidak ada pengacara untuk Dinda? Ternyata ada. Satu di antara sepuluh laman yang keluar. Dan penulisnya bukan sebaya Dinda yang 'minta dipahami', tapi seorang ibu yang sudah punya beberapa anak.

Situasi ini tidak sama persis dengan yang dialami Dinda, tapi Anda bisa coba membayangkannya. Anda berangkat lebih pagi dari biasanya untuk mendapatkan tempat duduk, naik ojek sekali dan angkot dua kali ke stasiun, lalu di kereta seorang ibu hamil menepuk bahu Anda, menanyakan tempat duduk yang Anda dapatkan.

Apa yang akan Anda lakukan?

Di samping simpati, kalau memang ada, sebagai orang yang tidak mampu menolak, Anda mungkin tidak punya pilihan lain selain memberikan tempat duduk Anda. Kalau Anda menawarkannya sendiri, lain lagi ceritanya. Sesederhana pertanyaan, "Boleh minta kuemu?" waktu Anda sedang lapar. Pembela Dinda, ibu beranak empat tadi, malah dinilai tidak cukup mumpuni untuk menawarkan sudut pandang lain oleh seorang komentator, "kalau dilihat dari PP-nya yang kurang beradab (masak gambar kaki dijadikan PP)."

Ini pun hanya sudut pandang lain, dari orang yang overdosis pembicaraan hot dan sakaw udara. Kiranya berkenan.